Kamis, 01 Juni 2017

Sampai Kapan FPI Terus Mempermalukan Nama Islam di Mata Dunia?

Berbagai Headline Berita di Media Massa Luar Negeri Perihal Kasus Chat Mesum RS. (Sumber: Penelusuran Google.com).
Gagah memang laskar unyu-unyu yang satu ini, setelah mereka mengintimidasi seorang dokter, Ibu beranak dua, sekarang mereka sambangi anak remaja yang masih sangat belia. Alasannya sama, karena mereka menganggap “ulama”, “si raja hutan” mereka itu sudah dihina lewat media sosial. Tentu bagi mereka, adalah sebuah kewajiban untuk melindungi harkat dan martabat sang figur, sang icon, dan sang penjaga “kandang”  sebab ini sangat berpaut erat dengan eksistensi kelompok.
“Prestise” dan citra otoritatif bisa tergerus di mata masyarakat bila bibib yang mulia terus dibully. “Mau ditaruh di mana muka ini?”, “di mana lagi kebanggaan ketika mengenakan kaos eppeiy?” dan “wah, kalo sweefing bakal susah dapet nasi kalo gini”, mungkin begitulah kura-kura ketakutan yang ada di kepala mereka (pinjem taglinenya bos dulu).
Menyikapi banyaknya upaya intimidasi terhadap setiap orang yang kedapatan mem-bully tokoh flamboyan milik eppeiy ini seharusnya membuat kita memikirkan ulang apa itu “ulama” dan “penghinaan terhadap ulama”, dua frasa yang selalu mereka catut untuk melakukan intimidasi.
Biasanya mereka akan berkilah dengan menyatakan bahwa mereka hanya melakukan tindakan yang juga dilakukan Banser NU. Mereka mencatut aksi Banser yang melakukan tabayyun dan teguran terhadap penghina Ulama NU, seperti kasus penghinaan terhadap Gus Mus tempo hari. Benarkah apa yang dilakukan Banser sama seperti perlakuan laskar eppeiy? Tentu tidak. Berikut ini penalarannya.
Siapa yang Berhak Menyandang Gelar Ulama?
Gelar dan ketokohan seorang berpredikat Ulama memang kental di dalam budaya masyarakat religius. Karena selain kepadanya umat mengenal jalan dan pengharapan akan dunia akhirat, para Ulama juga merupakan tiang keteladanan bagi perjuangan nilai-nilai luhur pada kehidupan dalam dunia. Karena keberadaan dan perannya yang begitu sentral terhadap kehidupan suatu umat, maka tidak heran apresiasi, bahkan penundukan diri umat, begitu tinggi terhadap Ulama. Ini sesungguhnya amat baik, karena mencintai Ulama adalah sebuah cermin kehidupan masyarakat yang mencintai kearifan, keilmuan dan keadaban.
Melihat nilai penghargaan yang begitu tinggi terhadap status Ulama ini, maka kita tidak akan heran bila ada orang yang ingin memanfaatkannya. Kaum-kaum oportunis ini memang tidak akan pernah sirna selama dunia masih ada. Mendapatkan hati seseorang memang mendapatkan semuanya.
Dengan memanfaatkan gelar “Ulama”, maka banyak orang dapat mendapatkan harta, tahta (dan bahkan Wanita). Padahal, yang menjadikan seseorang itu Ulama yang asli adalah nilai intrinsik, suatu keteguhan ilmu dan batin bahwa dunia itu amat kecil dan tidak menarik lagi bagi dirinya. Sedangkan “ulama” KW hanya mengenakan atribut-atribut ekstrinsik tanpa mengadopsi akal dan mental seorang Ulama yang sejati.
Maka dari itu kita tidak menjadi heran bila ada orang-orang yang menyematkan gelar “ulama” pada tubuh mereka, tetapi apa yang keluar dari mulut mereka hanyalah hinaan, cacian, pemfitnahan, kebohongan, dan bahkan ujaran kemesuman. Orang-orang seperti ini adalah pencatut status keulamaan, dan yang lebih mengerikan adalah dampaknya secara luas, gelar Ulama menjadi ternistakan oleh mereka. Mereka menista Agama dan mempermalukan umat di mata dunia.
Menghina Ulama atau Mengulamakan Penghina?
Ulama yang pada hakikatnya adalah pembawa nilai-nilai kebenaran, yang terbingkai di dalam kearifan, keilmuan, dan keadaban memang tidak pantas dihina. Sebab beliau-beliau ini adalah guru-guru bangsa yang seumur hidup bertarung dengan diri demi kemaslahatan masyarakat dan umat. Tentu dengan segala kekurangan mereka sebagai manusia, mereka bukanlah makhluk yang sempurna.
Namun kekurangan mereka tak seberapa bila dibandingkan dengan kesalehan-kesalehan yang mereka tempa. Ulama-ulama kita yang asli di negeri ini bahkan sampai diakui pengaruhnya oleh dunia. Sebut saja seperti Habib Quraish Shihab, Gus Mus, Prof. Said Aqil Siradj, Buya Syafi’i Maarif, Habib Luthfi bin Yahya, dan masih banyak lagi.
Dari refleksi sederhana kita soal gelar mulia seorang Ulama, kita sudah dapat menarik garis lurus yang menjadi jurang pemisah antara perilaku FPI dengan Banser NU. Pada kasus Banser NU yang menghampiri penghina Gus Mus misalnya. Penghina Beliau memang tidak menempatkan kearifan, keilmuan dan keadaban pada tempatnya. Pada saat itu Gus Mus sedang menegur perilaku dari sekelompok orang yang ingin berlaku sesukanya menggunakan nama agama.
Gus Mus menyindir segelintir kaum egois untuk jangan mengganggu ketertiban umum, apalagi melanggar hukum atas nama ibadah. Lalu tiba-tiba ada seorang pemuda yang menghina beliau tanpa memahami konteks cuitan Gus Mus via twitter. Patut memang bila Banser mengambil tindakan. Begitu pula ketika Banser menyikapi fitnah yang ditujukan kepada Ketua Umum PBNU, Prof. Said Aqil Siradj.
Berbeda dengan kasus Rijieq Shihab (RS), ia menuai bullyan karena memang pernyataan-pernyataan dan sikapnya selalu kontroversial. Bahkan tidak jarang pernyataannya bermuatan kebohongan, fitnah dan ujaran kebencian. Apalagi RS seringkali ditemukan bertentangan antara pernyataan dan kelakuan. Soal kasus chat mesum misalnya, yang mirip dengan kasus Ariel Noah tempo dulu. Dulu teriak “ini-itu” soal kasus Ariel, sekarang dia sendiri malah jadi tersangka atas kasus yang serupa. Ini kan munapik namanya. Hahaha.
Demo FPI Terkait Kasus Konten Pornografi Ariel di Tahun 2012. (Sumber: Penelusuran Google.com).
Demo FPI Terkait Kasus Konten Pornografi Ariel di Tahun 2012. (Sumber: Penelusuran Google.com).
Dulu FPI pernah bersuara keras soal kasus zinah itu. Sekarang? Hanya bisa berlindung di balik kata “rekayasa” tanpa dapat menyodorkan fakta bahwa RS itu difitnah. Hahaha. Belum lagi RS terjerat pada kasus penghinaan Pancasila, penistaan agama, fitnah uang BI “palu-arit”, penghinaan profesi aparat Negara (Jenderal otak Hansip), penghinaan terhadap budaya Sunda (Sampurasun menjadi “campur racun”). Yang seperti ini pantas disebut Ulama?
Demo FPI Terkait Kasus Konten Pornografi Ariel di Tahun 2012. (Sumber: Penelusuran Google.com).
Demo FPI Terkait Kasus Konten Pornografi Ariel di Tahun 2012. (Sumber: Penelusuran Google.com).
Maka itu tidak heran sikap munafik yang dipertontonkan RS menuai kemarahan publik. Bukan saja karena RS telah mencatut gelar Ulama, namun terlebih lagi dampak negatif yang akhirnya harus ditanggung oleh umat dan nama baik Agama Islam. Kasus chat mesum RS bahkan sampai diangkat oleh berbagai media luar negeri, seperti New York Times[1] dan sebagainya. Ini kan mencoreng dan mempermalukan nama Islam di mata dunia. Melihat hal ini, seharusnya kita jadi bertanya-tanya, siapakah penista agama yang sesungguhnya? Ahok atau RS? Seluruh dunia menertawakan agama kita karena RS, “ulama kok cabul?” begitu kira-kira. Luar biasa makhluk satu ini.
Akhir kata dari saya bagi para pembaca (Seword). Justru seharusnya orang-orang seperti RS diberi ultimatum untuk berhenti mencatut gelar Ulama, juga berhenti menggunakan atribut-atribut yang identik dengan agama Islam. Berhenti permalukan agama kita di mata dunia. RS itu bukan Ulama, apalagi Ulama milik umat Islam. RS itu cuma junjungan FPI, titik.
Setiap pernyataan kemarahan publik dan bullyan yang diarahkan kepada RS adalah memang akibat perilakunya sendiri, dan itu adalah fakta, bukan fitnah. Tapi ya sudah, memang para laskar unyu tak tentu punya kapasitas nalar untuk dapat mengerti. Yang penting intimidasi dan gebuk dulu, ngerti belakangan. Laskar memang gagah di lapangan, tapi kalo keroyokan. Begitu diperhadapkan dengan Banser NU, eh kok malah jadi pemalu dan unyu-unyu? ðŸ˜›
Yah, begitulah cupu-cupu.